Oleh: Alhafiz
Kurniawan
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya,
“Hanya Kau yang kami sembah, dan hanya Kau yang kami mintakan pertolongan.”
Ibadah atau
sembah secara harfiah berarti tunduk dan rendah. Sementara dalam agama, ibadah
atau sembah adalah gabungan dari rasa cinta, tunduk, dan takut sekaligus
sebagaimana keterangan Ibnu Katsir berikut ini:
العبادة في اللغة من الذلة، يقال: طريق مُعَبّد،
وبعير مُعَبّد، أي: مذلل، وفي الشرع: عبارة عما يجمع كمال المحبة والخضوع والخوف.
Artinya,
“Ibadah pada kata ‘na‘budu’ berarti rendah dan hina. Oleh karena itu, ada frase
berbunyi ‘tariq mu‘abbad’ atau jalan yang dipersiapkan untuk dilalui bagi
pejalan dan ‘ba‘ir mu‘abbad’ atau unta yang tunduk, maksudnya dijinakkan.
Dalam syariat,
ibadah merupakan ungkapan atas gabungan kesempurnaan cinta, ketundukan, dan
rasa takut sekaligus.” (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Jizah, Muassasah
Qurthubah: tanpa tahun], juz I, halaman 214). Pendahuluan maf’ul atau objek
“iyyaka” daripada predikat verbanya “na‘budu” serta pengulangan menunjukkan
urgensi, pembatasan dan pengkhususan makna dengan “hanya”.
“Kami
menyembah hanya kepada-Mu dan berpasrah hanya kepada-Mu.”
Ini merupakan puncak
ketaatan beragama. Ajaran dan praktik agama sepenuhnya merujuk pada penyembahan
dan kepasrahan ini. Tidak berlebihan jika ulama salaf mengatakan bahwa rahasia
Al-Fatihah atau sirrul fatihah terletak pada “iyyaka na‘budu wa iyyaka
nasta‘in”. Lafal “iyyaka na‘budu” bentuk bara atau pelepasan diri dari
kemusyrikan. Sedangkan “wa iyyaka nasta‘in” bentuk serah dan pasrah daya serta
kekuatan kepada Allah.” (Ibnu Katsir, tanpa tahun: 214-215).
Jamaluddin
Al-Qasimi dalam tafsirnya, Mahasinut Ta’wil, menerangkan urgensi penggunaan
pembatasan dan pengkhususan atau hashr di mana maf’ul didahulukan daripada
subjek dan verbanya dalam Surat Al-Fatihah ayat 5. Menurutnya, masyarakat Arab ketika itu memiliki
banyak jenis berhala. Sebagian mereka menyembah matahari, bintang, bulan,
malaikat, berhala, pohon, batu, bahkan pendeta mereka sebagaimana keterangan
Surat Fusshilat ayat 37, Saba ayat 40-41, Al-Maidah ayat 116, Ali Imran ayat
80, An-Najm 19-20, Al-A’raf ayat 138-140, dan At-Taubah ayat 31. (Al-Qasimi,
1957 M/1376 H: 10-12).
Dalam
Surat Al-Fatihah ayat 5, digunakan subjek jamak; “iyyaka na‘budu wa iyyaka
nasta‘in” (Hanya Kau yang kami sembah, dan hanya Kau yang kami mintakan
pertolongan), bukan tunggal; “iyyaka a‘budu wa iyyaka asta‘in” (Hanya Kau yang
kusembah, dan hanya Kau yang kumintakan pertolongan). Ini merupakan pengakuan atas kekurangan,
kedaifan, dan kehinaan manusia untuk menghadap di pintu-Nya. Seolah manusia
mengatakan, “Tuhanku, aku hanya hamba yang hina dan rendah. Aku tidak layak
bermunajat sendiri kepada-Mu.
Oleh karenanya, aku menggabungkan diri ke jalan
orang-orang beriman yang mengesakan-Mu. Oleh karena
itu, kabulkanlah permohonanku di tengah perkumpulan mereka. Kami semua
menyembah dan memohon pertolongan-Mu.” (As-Shabuni, 1999 M/1420 H: jilid I,
27). Penggunaan lafal jamak juga berarti tabarukan atas orang-orang saleh
beriman. (As-Shawi, tanpa tahun: jilid IV, 274). Menurut As-Shawi dalam
Hasyiyatus Shawi alal Jalalain, lafal ibadah didahulukan dibanding permohonan
pertolongan.
Hal ini
memberikan pelajaran bahwa ibadah merupakan wasilah atau jalan adab dalam
memohon pemenuhan hajat kepada Allah. Dalam Surat Al-Fatihah ayat 5, kita kata
Imam At-Thabari dalam tafsirnya, Jamiul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, seolah
mengatakan, “Ya Allah, kami tunduk dan merendah kepada-Mu sebagai pengakuan
kami atas status ketuhanan-Mu, bukan yang lain. Hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan atas praktik ibadah, ketaatan kami kepada-Mu, dan segala aktivitas
lain di luar itu. Tiada yang lain untuk itu selain-Mu karena orang menjadi
kafir atau durhaka kepada-Mu ketika meminta pertolongan kepada berhala atau apa
saja yang dipertuhankan. Kami hanya meminta pertolongan-Mu dalam semua urusan
kami dengan ikhlas dalam penyembahan,” (At-Thabari, 2000 M/1420 H).
Adapun
Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami li Ahkamil Qur’an mengatakan bahwa
lafal “Wa iyyaka nasta‘in” atau hanya kepada-Mu kami minta pertolongan
merupakan bentuk pembebasan diri dari kesombongan dan keangkuhan akan daya dan
kekuatan selain Allah.
Tafsir Jalalain menerangkan bahwa Surat Al-Fatihah ayat 5 merupakan
pengakuan kehambaan murni kepada Allah dalam urusan pengesaan dan ibadah
amaliah lainnya yaitu shalat, puasa, zakat, haji, serta permohonan pertolongan
murni kepada-Nya untuk menjalankan ibadah dan aktivitas lainnya baik dunia
maupun akhirat. (As-Shawi, tanpa tahun: jilid IV, 274).
إيَّاكَ نَعْبُد وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين أَيْ
نَخُصّك بِالْعِبَادَةِ مِنْ تَوْحِيد وَغَيْره وَنَطْلُب الْمَعُونَة عَلَى
الْعِبَاد وَغَيْرهَا
Artinya,
“Lafal ‘iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in’ berarti, ‘kami menyembah-Mu secara
khusus baik dalam urusan tauhid dan urusan lain; kami juga meminta
pertolongan-Mu dalam urusan ibadah dan urusan lainnya,’” (Jalaluddin, Tafsirul
Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun]).
Ragam
Pelafalan Iyyaka Na‘budu wa Iyyaka Nasta‘īn Imam Ibnu Katsir menyebutkan
keragaman bacaan seputar Surat Al-Fatihah ayat 5 dalam tafsirnya, Tafsirul
Qur’anil Azhim. Imam
tujuh qiraat dan mayoritas ulama membaca lafal “iyya” dengan tasydid; “iyyaka
na‘budu wa iyyaka nasta‘in”. Sedangkan Imam Amr bin Fayid membaca “iya” tanpa
tasydid; “iyaka na‘budu wa iyaka nasta‘in.” Tetapi bacaan ini terbilang jarang
dan ditolak karena secara harfiah “iya” berarti sinar matahari. Sebagian ulama
membaca “iyya” dengan fathah pada hamzah dan tasydid; “ayyaka na‘budu wa ayyaka
nasta‘in.” sementara sebagian ulama lain membaca “iyya” dengan ha sebagai
pengganti hamzah; “hayyaka na‘budu wa hayyaka nasta‘in.”
Mayoritas
ulama membaca fathah pada nun “nasta‘in,” kecuali Yahya bin Watsab dan
Al-A‘masy. Keduanya membaca kasrah pada nun; “iyyaka na‘budu wa iyyaka
nista‘in.” (Ibnu Katsir, tanpa tahun: 214). Wallahu a‘lam.
0 Komentar